Sisi Melankoli Seorang Ibu Cinta

Oleh Dr. Ida Rohayani, M.Pd. | Guru PPKn Eril dan Zahra di SMAN 3 Bandung

Selamat malam, mah!

Saat rencana kunjungan ke negara yang memiliki empat musim, dengan keindahan alam yang menakjubkan, seketika disambut dengan gembira oleh kedua anakku yang memang sudah menunggu momen ini sejak lama.

“Di Aaree aku mau melihat dan menikmati pemandangan, mah!”

Aku tersenyum mengiyakan, karena si kasep dan si cantik memang penyuka petualangan dan keindahan sepertiku. Permainan apapun sering kami lakukan dengan kompak. Hanya satu yang tidak kompak denganku, mereka semua kuliah di ITB, mulai dari bapaknya, neneknya, tentu mereka berdua. Namun justru dengan itu rasa terintimidasiku membuatku menjadi ratu kanyaah mereka.

Bern yang mulai sejuk namun belum begitu hangat, menggoda kami untuk sekedar mencelupkan kaki di sungai Aaree yang bening dan menggiurkan untuk berenang. Kamu itu indah banget, rintihku. Siapa yang tidak akan tergoda untuk merasakan aliran lembut air bersih yang memang difasilitasi untuk berenang dengan aman.

Namun kamu lebih posesif dari aku, memiliki dan merebutnya dariku. Jika kamu bilang dari awal, sampai kapanpun tak akan kuizinkan anakku untuk sekedar berkunjung padamu. Namun aku menyadari, lauh mahfuz telah mencatat kamu terpilih untuk memeluk putraku lebih erat, membelainya dengan keindahanmu, menyampaikan ke sungai jannah di arasy sana. Aku mengikhlaskanmu memilikinya, karena aku tahu tundukmu pada Robb mungkin lebih sempurna dariku.

Aku tetap mengingat malam sebelum kamis pagi itu, saat si kasep dengan riang mengatakan, “jangan lupa besok ke Aaree ya, mah”

Sekali lagi aku tersenyum dan anggukan tanda mengiyakan. Anakku tersenyum riang, sambil mengecupku sebelum pergi menuju kamarmu, selamat malam, mah!.

Kini malamku diisi dengan munajat dan doa yang tak akan putus dari bibirku yang selalu bergetar menyebut astma Allah dan Eril, mamah ikhlas dengan senyum bahagiamu di malam itu. Sambut tangan mamah di saat kita bertemu lagi cepat atau lambat di haribaan Allah SWT, anakku sayang.

Dipersembahkahkan untuk ibu Cinta dan kang Emil, dari seorang ibu yang merasakan kehilangan yang sama.